BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Sebagian besar diantara kita mungkin
pernah merasakan lapar dan tahu bahwa itu pertanda kita harus segera makan.
Namun mengetahui bagaimana perut kita bisa menjadi lapar butuh sedikit motivasi
untuk mencari informasinya.
Rasa lapar sesungguhnya merupakan sinyal yang
normal yang mengingatkan bahwa tubuh perlu menambah energi yang
berkurang. Rasa lapar inilah yang mendorong manusia untuk makan. Dalam
dunia modern seperti sekarang ini disinyalir bahwa semakin banyak orang yang
tidak pernah lagi merasakan lapar karena berbagai alasan seperti karena gaya
hidup dan pola makan yang berubah yang sedikit banyak terkait dengan makin
banyaknya ragam makanan yang tersedia serta daya beli yang semakin meningkat
seiring dengan kemakmuran dunia.
Manusia semakin banyak yang makan hanya karena
sudah waktunya makan (sesuai jam makan yang teratur) meski belum merasakan
lapar, karena godaan kelezatan makanan, dan alasan-alasan pendorong lain selain
rasa lapar. Kenyataan seperti ini mungkin lazim terjadi pada masyarakat negara
maju dan negara berkembang terutama pada masyarakatnya yang tergolong
ekonomi menengah ke atas. Cukup beralasan mengapa jumlah orang yang kegemukan
atau obesitas meningkat pada segmen masyarakat tersebut.
1.2 Tujuan Penulisan
Tujuan umum:
Mahasiswa mampu untuk memahami konsep keadaan kenyang dan
lapar.
Tujuan
khusus:
a.
Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan terjadinya kenyang.
b.
Mahasiswa dapat mengetahui dan memhami proses terjadinya
lapar.
c.
Mahasiswa mampu mengetahui dan
menjelaskan proses defekasi.
1.3 Manfaat Penulisan
Dengan membaca makalah ini diharap pembaca dapat
mengetahui dan memahami proses terjadinya kenyang dan lapar.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Fisiologi Lapar
Pusat saraf yang mengatur
asupan makanan.
1.
Nukleus lateral hipotalamus,
berfungsi sebagai pusat makan
2.
Nukleus ventromedial
hipotalamus berperan sebagai pusat kenyang
3.
Nukleus paraventrikular,
dorsomedial, dan arkuata
Faktor-faktor yang mengatur
jumlah asupan makanan.
Pengaturan jumlah asupan makanan dapat dibagi menjadi:
1.
Pengaturan jangka pendek,
yang terutama
mencegah perilaku makan yang berlebihan di setiap waktu makan.
Bila saluran cerna teregang, terutama
lambung dan duodenum, sinyal inhibisi yang teregang akan dihantarkan terutama
melalui nervus vagusn untuk menekan pusat makan,sehingga nafsu makan berkurang.
- ·
Faktor hormonal saluran cerna menghambat perilaku makan
Kolesistokinin terutama dilepaskan
sebagai respon terhadap lemak yang masuk ke duodenum dan memiliki efek langsung
ke pusat makan untuk mengurangi perilaku makan lebih lanjut.
Selain itu,adanya makanan dalam usus
akan merangsang usus tersebut mensekresikan peptide mirip glucagon, yang
selanjutnya akan meningkatkan sekresi insulin terkait glukosa dan sekresi dari
pancreas, yang keduanya cendrung untuk menekan nafsu makan.
- · Ghrelin, suatu hormone gastrointestinal meningkatkan perilaku makan.
Kadar Ghrelin meningkat disaat puasa,
meningkat sesaat sebelum makan, dan menurun drastic setelah makan yang
mengisyaratkan bahwa hormone ini mungkin berperan untuk meningkatkan nafsu
makan
- · Reseptor mulut mengukur jumlah
asupan makanan
Berkaitan dengan perilaku makan, seperti mengunyah,
salivasi, menelan, dan mengecap yang akan “mengukur” jumlah makanan yang masuk,
dan ketika sejumlah makan telah masuk, maka pusat makan dihipotalamus akan
dihambat.
2.
Pengaturan
jangka panjang,
yang terutama berperan untuk mempertahankan energy yang
disimpan di tubuh dalam jumlah normal.
- · Efek kadar
glukosa, as.amino, dan lipid dalam darah terhadap rasa lapar dan perilaku
makan.
Penurunan kadar gula dalam darah akan menimbulkan rasa
lapar, yang menimbulkan suatu perilaku yang disebut teori glukostatik pengaturan rasa lapar dan perilaku makan, teori
lipostatik dan teori aminostatik.
- Peningkatan
kadar glukosa darah akan meningkatkan kecepatan bangkitan neuron glukoreseptor
di pusat kenyangdi nucleus ventro medial dan paraventrikulat hipotalamus.
- Peningkatan
kadar gula juga secara bersamaan menurunkan bangkitan neuron glukosensitif di
pusat lapar hipotalamus lateral.
- Pengaturan
suhu dan asupan makan
- Saat udara dingin, kecendrungan untuk
makan akan meningkat.
- Sinyal umpan balik dari
jaringan adipose mengatur asupan makanan.
Lapar dapat terjadi karena adanya stimulasi dari suatu
faktor lapar, yang akan mengirimkan impuls tersebut ke pusat lapar di otak,
yakni hipotalamus bagian lateral, tepatnya di nucleus bed pada otak tengah yang
berikatan serat pallidohypothalamus. Otak inilah yang akan menimbulkan rasa
lapar pada manusia. Setelah tubuh mendapat cukup nutrisi yang ditentukan oleh
berbagai faktor, maka akan mengirim impuls ke pusat kenyang yakni di nucleus
ventromedial di hipotalamus. Kemudian tubuh akan merasa puas akan makan, sehingga kita
akan berhenti makan.
Beberapa faktor yang mempengaruhi rasa lapar pada manusia
adalah:
1. Hipotesis Lipostatik
Leptin yang terdapat di jaringan adiposa akan menghitung
atau mengukur persentase lemak dalam sel lemak di tubuh, apabila jumlah lemak
tersebut rendah, maka akan membuat hipotalamus menstimulasi kita untuk merasa
lapar dan makan.
2. Hipotesis Hormon Peptida pada Organ Pencernaan
Makanan yang ada di dalam saluran gastrointestinal akan
merangsang munculnya satu atau lebih peptida, contohnya kolesitokinin.
Kolesitokinin berperan dalam menyerap nutrisi makanan. Apabila jumlah
kolesitokinin dalam GI rendah, maka hipotalamus akan menstimulasi kita untuk
memulai pemasukan makanan ke dalam tubuh.
3. Hipotesis Glukostatik
Rasa lapar pun dapat ditimbulkan karena kurangnya glukosa
dalam darah. Makanan yang kita makan akan diserap tubuh dan sari-sarinya (salah
satunya glukosa)akan dibawa oleh darah dan diedarkan ke seluruh tubuh, jika
dalam darah kekurangan glukosa,maka tubuh kita akan memerintahkan otak untuk
memunculkan rasa lapar dan biasanya ditandai dengan pengeluaran asam lambung.
4. Hipotesis Termostatik
Apabila suhu dingin atau suhu tubuh kita di bawah set
point, maka hipotalamus akan meningkatkan nafsu makan kita. Teori produksi
panas yang dikemukakan oleh Brobeck menyatakan bahwa manusia lapar saat
suhu badannya turun, dan ketika naik lagi, rasa lapar berkurang. Inilah salah
satu yang bisa menerangkan mengapa kita cenderung lebih banyak makan di waktu
musim hujan/dingin.
5. Neurotransmitter
Neurotransmitter ada banyak macam, dan mereka berpengaruh
terhadap nafsu makan. Misalnya saja, adanya norepinephrine dan neuropeptida Y
akan membuat kita mengkonsumsi karbohidrat. Apabila adanya dopamine dan
serotonine, maka kita tidak mengkonsumsi karbohidrat.
6. Kontraksi di Duodenum dan Lambung
Kontraksi yaitu kontraksi yang terjadi bila lambung telah
kosong selama beberapa jam atau lebih. Kontraksi ini merupakan kontraksi
peristaltik yang ritmis di dalam korpus lambung. Ketika kontraksi sangat kuat,
kontraksi ini bersatu menimbulkan kontraksi tetanik yang kontinius selama 2-3
menit. Kontraksi juga dapat sangat ditingkatkan oleh kadar gula darah yang
rendah. Bila kontraksi lapar terjadi tubuh akan mengalami sensasi nyeri di
bagian bawah lambung yang disebut hunger pangs (rasa nyeri mendadak waktu
lapar. Hunger pans biasanya tidak terjadi sampai 12 hingga 24 jam sesudah makan
yang terakhir. Pada kelaparan, hunger pangs mencapai intesitas terbesar dalam
waktu 3-4 hari dan kemudian melemah secara bertahap pada hari-hari berikutnya.
7. Psikososial
Rasa lapar tidak dapat sepenuhnya hanya dijelaskan
melalui komponen biologis. Sebagai manusia, kita tidak dapat mengesampingkan
bagian prikologis kita, komponen belajar dan kognitif (pengetahuan) dari lapar.
Tak seperti makhluk lainnya, manusia menggunakan jam dalam rutinitas
kesehariannya, termasuk saat tidur dan makan. Penanda waktu ini juga memicu
rasa lapar.
Kebiasaan juga mempengaruhi rasa lapar. Seperti orang
normal yang biasa makan 3 kali sehari bila kehilangan 1 waktu makan, akan
merasa lapar pada waktunya makan walaupun sudah cukup cadangan zat gizi dalam
jaringan-jaringannya.
Saat berenang, tubuh akan menggunakan energy sebesar 500
kalori per jamnya. Semakin lama berenang makan jumlah energy yang terpakai pun
semakin besar. Hal ini akan menurunkan kadar gula didalam tubuh. Penurunan
kadar gula dalam darah akan menimbulkan rasa lapar, yang menimbulkan suatu
perilaku yang disebut teori glukostatik pengaturan rasa lapar dan perilaku
makan, teori lipostatik dan teori aminostatik.
2.2 Proses Terjadinya Kenyang
Sebenarnya pembicaraan kita tentang rasa lapar
tidak akan lengkap tanpa membicarakan rasa kenyang karena keduanya sangat
berhubungan erat dalam mengatur inisiasi (pemulaian) dan pengakhiran suatu
proses makan. Namun secara umum bisa dikatakan bahwa pengaturan rasa kenyang
secara fisiologis sedikit lebih sederhana dibanding pengaturan rasa lapar.
Secara singkat bisa dikatakan bahwa rasa kenyang
disebabkan setidaknya oleh interaksi antara efek mekanistis makanan dalam
lambung (berupa distensi atau penggembungan lambung oleh makanan) dengan efek
kimia dari makanan berupa pelepasan hormon-hormon tertentu seperti
Kolesistokinin dari usus halus. Pernahkah anda merasa sangat lapar dan kemudian
minum air putih segelas, dan tiba-tiba anda merasa kenyang? Itu contoh
sederhana bagaimana efek distensi tadi bisa menyebabkan rasa kenyang. Namun
apakah kenyang karena minum air tersebut sama rasanya dengan kenyang karena
makan sepiring nasi dan lauknya? Bagaimana kepuasan yang tercapai oleh
dua jenis konsumsi yang berbeda di atas jika dibandingkan?
Benar, tentu berbeda. Orang akan lebih merasa
terpuaskan dengan kenyang karena sepiring nasi dan lauk dibanding kenyang
karena segelas air putih. Disitulah letak unsur atau aksi kimiawi zat makanan
dalam menginduksi rasa kenyang tadi. Telah diketahui bahwa berbagai zat gizi
yang terdapat dalam makanan seperti lemak, protein, karbohidrat bisa merangsang
produksi hormon yang menghantarkan signal rasa kenyang seperti Kolesistokinin
ke otak untuk diproses. Air putih yang tidak memiliki kandungan zat gizi
tersebut tidak mampu menimbulkan rasa kenyang yang memuaskan karena tidak
adanya penghantaran signal kenyang tersebut ke otak. Itulah yang membedakan
sensasi kenyang yang berbeda tersebut.
Manipulasi rasa kenyang karena distensi lambung
kadang digunakan untuk terapi kegemukan yang berlebihan. Kadang lambung
dioperasi menjadi lebih kecil agar cepat mencapai rasa kenyang ketika
makan, kadang pula balon dipasang di dalam lambung untuk mengurangi tempat yang
bisa terisi makanan namun tetap menimbulkan rasa kenyang. Kedua metode makanis
tersebut ternyata terbukti bisa menurunkan berat badan dan memperbaiki kondisi
metabolisme pasien kegemukan. Pasien menjadi cepat merasa kenyang dan
menyebabkan jumlah energi yang dikonsumsi jauh berkurang.
2.3 Fekal Proses Defekasi
Defekasi adalah proses pengosongan
usus yang sering disebut buang air besar. Terdapat dua pusat yang momguasai
refieks untuk defekasi, yang terletak di medula dan sumsum tulang belakang.
Apabila terjadi rangsangan parasimpatis, sfingter anus bagian dalam akan
mengendor dan usus besar mengucup. Reflek defe;kasi dirangsang untuk buang air
beaar, kemudian sfingter anus bagian luar yang diawasi oleh sistem saraf
parasimpatis, setiap waktu menguncup atau mengendor. Selama defekasi berbagai
otot lain membantu proses itiu, seperti otot dinding perut, diafragma, dan
otot-otot dasar pelvis.
Feses terdiri atas sisa makanan
seperti selulosa yang tidak direncanakan dan zat makanan lain yang seluruhnya
tidak dipakai oleh tubuh, berbagai macam mikroorganisme, sekresi kelenjar usus,
pigmen empedu, dan cairan tubuh. feaes yang normal terdiri atas masa padat,
berwarna coklat karena disebabkan ole;h mobilitas sebagai hasil reduksi pigmen
empedu dan usus kecil.
Secara umum, terdapat dua macam refleks yang membantu proses defekasi yaitu pertama, refieks, defekasi intrinsik yang dimulai dari adanya zat sisa makanan (feses) dalam rektum sehingga terjadi distensi, kemudian flexus mesenterikus merangsang gerakan peristaltik, dan akhirnya feses sampai di anus, lalu pada saat sfingter interna relaksasi, maka terjadilah proses defekasi. Kedua, refieks defekasi parasimpatis. Adanya feses dalam rektum yang merangsang saraf rektum, ke spinal cord, dan merangsang ke kolon desenden, ke;mudian ke sigmoid, lalu ke rektum dengan gerakan peristaltik dan akhirnya terjadi relaksasi sfingte:r interna, maka terjadilah proses defekasi saat sfingter interna berelaksasi.
Secara umum, terdapat dua macam refleks yang membantu proses defekasi yaitu pertama, refieks, defekasi intrinsik yang dimulai dari adanya zat sisa makanan (feses) dalam rektum sehingga terjadi distensi, kemudian flexus mesenterikus merangsang gerakan peristaltik, dan akhirnya feses sampai di anus, lalu pada saat sfingter interna relaksasi, maka terjadilah proses defekasi. Kedua, refieks defekasi parasimpatis. Adanya feses dalam rektum yang merangsang saraf rektum, ke spinal cord, dan merangsang ke kolon desenden, ke;mudian ke sigmoid, lalu ke rektum dengan gerakan peristaltik dan akhirnya terjadi relaksasi sfingte:r interna, maka terjadilah proses defekasi saat sfingter interna berelaksasi.
Gangguan Eliminasi Fekal
Gangguan eliminasi fekal
adalah keadaan dimana seorang individu mengalami atau berisiko tinggi mengalami statis pada
usus besar, mengakibatkan jarang buang air besar, keras, feses kering. Untuk
mengatasi gangguan eliminasi fekal biasanya dilakukan huknah, baik huknah
tinggi maupun huknah rendah. Memasukkan cairan hangat melalui anus sampai ke
kolon desenden dengan menggunakan kanul rekti.
. Masalah
eliminasi fekal yang sering ditemukan yaitu:
a)
Konstipasi,
merupakan gejala, bukan penyakit yaitu menurunnya frekuensi
BAB disertai dengan pengeluaran feses yang sulit, keras, dan mengejan. BAB yang
keras dapat menyebabkan nyeri rektum. Kondisi ini terjadi karena feses berada
di intestinal lebih lama, sehingga banyak air diserap.
b)
Impaction,
merupakan akibat konstipasi yang tidak teratur, sehingga
tumpukan feses yang keras di rektum tidak bisa dikeluarkan. Impaction berat,
tumpukan feses sampai pada kolon sigmoid.
c)
Diare,
merupakan BAB sering dengan cairan dan feses yang tidak
berbentuk. Isi intestinal melewati usus halus dan kolon sangat cepat. Iritasi
di dalam kolon merupakan faktor tambahan yang menyebabkan meningkatkan sekresi
mukosa. Akibatnya feses menjadi encer sehingga pasien tidak dapat mengontrol
dan menahan BAB.
d)
Inkontinensia fecal,
yaitu suatu keadaan tidak
mampu mengontrol BAB dan udara dari anus, BAB encer dan jumlahnya banyak.
Umumnya disertai dengan gangguan fungsi spingter anal, penyakit neuromuskuler,
trauma spinal cord dan tumor spingter anal eksternal. Pada situasi tertentu
secara mental pasien sadar akan kebutuhan BAB tapi tidak sadar secara fisik.
Kebutuhan dasar pasien tergantung pada perawat.
e)
Flatulens,
yaitu menumpuknya gas pada
lumen intestinal, dinding usus meregang dan distended, merasa penuh, nyeri dan
kram. Biasanya gas keluar melalui mulut (sendawa) atau anus (flatus). Hal-hal
yang menyebabkan peningkatan gas di usus adalah pemecahan makanan oleh bakteri
yang menghasilkan gas metan, pembusukan di usus yang menghasilkan CO2.
f)
Hemoroid,
yaitu dilatasi pembengkakan
vena pada dinding rektum (bisa internal atau eksternal). Hal ini terjadi pada
defekasi yang keras, kehamilan, gagal jantung dan penyakit hati menahun.
Perdarahan dapat terjadi dengan mudah jika dinding pembuluh darah teregang.
Jika terjadi infla-masi dan pengerasan, maka pasien merasa panas dan gatal.
Kadang-kadang BAB dilupakan oleh pasien, karena saat BAB menimbulkan nyeri.
Akibatnya pasien mengalami konstipasi.
Patofisiologi
Defekasi biasanya
dimulai oleh dua refleks defekasi yaitu refleks defekasi instrinsik. Ketika
feses masuk kedalam rektum, pengembangan dinding rektum memberi suatu signal
yang menyebar melalui pleksus mesentrikus untuk memulai gelombang peristaltik
pada kolon desenden, kolon sigmoid, dan didalam rektum. Gelombang ini menekan
feses kearah anus. Begitu gelombang peristaltik mendekati anus, spingter anal
interna tidak menutup dan bila spingter eksternal tenang maka feses keluar.
Refleks defekasi kedua
yaitu parasimpatis. Ketika serat saraf dalam rektum dirangsang, signal
diteruskan ke spinal cord (sakral 2 – 4) dan kemudian kembali ke kolon
desenden, kolon sigmoid dan rektum. Sinyal – sinyal parasimpatis ini
meningkatkan gelombang peristaltik, melemaskan spingter anus internal dan
meningkatkan refleks defekasi instrinsik. Spingter anus individu duduk ditoilet
atau bedpan, spingter anus eksternal tenang dengan sendirinya.
Pengeluaran feses
dibantu oleh kontraksi otot-otot perut dan diaphragma yang akan meningkatkan
tekanan abdominal dan oleh kontraksi muskulus levator ani pada dasar panggul
yang menggerakkan feses melalui saluran anus. Defekasi normal dipermudah dengan
refleksi paha yang meningkatkan tekanan di dalam perut dan posisi duduk yang
meningkatkan tekanan kebawah kearah rektum. Jika refleks defekasi diabaikan
atau jika defekasi dihambat secara sengaja dengan mengkontraksikan muskulus
spingter eksternal, maka rasa terdesak untuk defekasi secara berulang dapat
menghasilkan rektum meluas untuk menampung kumpulan feses. Cairan feses di
absorpsi sehingga feses menjadi keras dan terjadi konstipasi.
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Lapar dapat terjadi karena adanya stimulasi dari suatu faktor lapar, yang
akan mengirimkan impuls tersebut ke pusat lapar di otak, yakni hipotalamus
bagian lateral, tepatnya di nucleus bed pada otak tengah yang berikatan serat
pallidohypothalamus. Otak inilah yang akan menimbulkan rasa lapar pada manusia.
Rasa
kenyang disebabkan setidaknya oleh interaksi antara efek mekanistis makanan
dalam lambung (berupa distensi atau penggembungan lambung oleh makanan) dengan
efek kimia dari makanan berupa pelepasan hormon-hormon tertentu seperti
Kolesistokinin dari usus halus.
Defekasi adalah proses pengosongan
usus yang sering disebut buang air besar. Terdapat dua pusat yang momguasai
refieks untuk defekasi, yang terletak di medula dan sumsum tulang belakang.
DAFTAR PUSTAKA
Brunner & Suddarth.
2002. Keperawatan Medikal Bedah Vol 3. Penerbit Kedokteran EGC:
Jakarta.
Harnawatia. 2010. Konsep Dasar Pemenuhan Kebutuhan Eliminasi Fekal.
Terdapat pada : http://harnawatiaj.wordpress.com/2008/03/14/konsep-dasar-pemenuhan-kebutuhan-eliminasi-fecal/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar