BAB II
PEMBAHASAN
A.
PENGKAJIAN
PADA SISTEM SENSORI PERSEPSI MATA
Ada
tiga bidang pengkajian oftalmik yang ditujukan pada system sensori persepsi
mata, meliputi : pengkajian riwayat kesehatan, pemeriksaan fisik oftalmologi,
serta diagnostic khusus oftalmologi dan prosedur refraktif.
1.
Riwayat
kesehatan
Sebelum
melakukan pengkajian fisik mata, perawat harus mendapatkan riwayat oftalmik,
medis, dan terapi klien, dimana semuanya berperan dalam kondisi oftalmik
sekarang. Informasi yang harus diperoleh meliputi informasi mengenai penurunan
tajam penglihatan, upaya keamanan, dan semua hal yang terkait pada alasan
melakukan pemeriksaan oftalmik.
a)
Riwayat
penyakit saat ini
·
Klien ditanya tentang keluhan yang
menyebabkan klien meminta pertolongan pada tim kesehatan.
·
Apakah ada riwayat kecelakaan atau kerja
·
Apakah ada riwayat oftalmik seperti
fotofobia, nyeri kepala, pusing, nyeri okuler atau dahi, mata gatal.
·
Bila ada keluhan nyeri, dikaji
sehubungan dengan lokasi, awitan, durasi, penurunan ketajaman penglihatan,
keadaan saat nyeri timbul, upaya menguranginya dan beratnya.
·
Identifikasi penurunan gangguan tajam
penglihatan atau kehilangan medan penglihatan, apakah kondisi tersebut unilateral
atau bilateral.
·
Tanyakan klien apakh pernah menjalani
koreksi refraksi dan pengukuran ketajaman penglihatan.
·
Apakah menggunakan lensa koreksi untuk
penglihatan dekat atau jauh.
·
Asuhan yang pernah diberikan oleh
spesialis mata dan frekuensinya.
b) Riwayat penyakit dahulu
·
Tanyakan adanya riwayat pembedahan atau
adanya pukulan/ benturan pada masa lalu yang menyebabkan keluhan saat ini.
·
Tanyakan tentang adanya kondisi seperti
diabetes mellitus, hipertensi, PMS, anemia sel sabit, AIDS, sklerosis multiple
yang dapat mengenai mata.
·
Tanaykan pada klien tentang penggunaan
obat mata yang dijiaul bebas ataupun dengan resep yang dipakai.
c)
Riwayat
psikososial
Pengkajian
psikososial terutama penting bagi perawat untuk menanyakan pertanyaan mengenai
riwayat klien, kita harus memperhitungkan efek keadaan oftalmik terhadap
aktivitas klien pada kehidupan sehari – hari dan terhadap pekerjaan. Hal – hal
yang perlu dikaji oleh perawat antara lain :
·
Evaluasi gaya hidup klien, jenis
pekerjaan, aktivitas hiburan, dan olahraga.
·
Tanaykan apakah masalah oftalmik yang
dilaporkan mengganggu fungsi yang biasa dilakukan.
·
Kaji bagaimana klien menghadapi masalah
tersebut.
·
Tanyakan perasaan klien yang berhubungan
dengan gangguan visual untuk mengkaji keefektifan teknik koping klien.
·
Kaji pengetahuan klien tentang
penyakitnya untuk mengetahui sejauh mana pengetahuan klien tentang masalahnya
untuk pemenuhan edukasi.
2.
Pemeriksaan
fisik mata
Perawat
menggunakan pendekatan sistematis, dari luar ke dalam. Struktur eksternal mata
dan bola mata diperiksa terlebih dahulu, kemudian diperiksa struktur internal.
Teknik yang dipergunakan adalah inspeksi dan palpasi. Inspeksi dilakuakn dengan
instrument oftalmik khusus dan sumber cahaya. Palpasi dilakukan untuk mengkaji
nyeri tekan mata, deformitas dan untuk mengeluarkan cairan dari puncta, serta
mendeteksi secara kasar tingkat tekanan intra okuler.
a)
Postur
dan gambaran klien, catat kombinasi pakaian yang tidak
lazim, yang mungkin mengindikasikan colou
vision defect. Demikian juga karakteristik postur yang menarik perhatian
seperti mendongakan kepala yang dapat merupakan tanda sikap kompensasi untuk
memperoleh pandangan yang jelas. Sebagai contoh, klien dengan double vision
dapat mengangkat kepalanya ke satu sisi sebagai usaha untuk memfokuskan
pandanagn menjadi satu ( Vaughan, 1999 ).
b)
Kesimetrisan
mata, observasi kesimetrisan mata kanan dan kiri. Kaji
kesimetrisan wajah klien untuk melihat apakah kedua mata terletak pada jarak
yang sama. Kaji letak mata pada orbit. Periksa apakh salah satu mata lebih
besar atau menonjol ke depan.
c)
Alis
dan kelopak mata, aobservasi kuantitas dan penyebaran bulu
alis. Inspeksi kelopak mata, anjurkan pasien melihat ke depan, bansingkan mata
kiri dan kanan, anjurka pasien menutup kedua mata, amati bentuk dan keadaan
kulit dari kedua kelopak mata, serta pinggiran kelopak mata, catat jika ada
kelainan ( kemerahan ). Perhatikan keluasan mata dalam membuka, catat adanya
droping kelopak mata atas atau sewaktu membuka ( ptosis ).
d)
Bulu
mata, periksa bulu mata untuk posisi dan distribusinya.
Selain berfungsi sebagai pelindung, juga dapat menjadi iritan bagi mata bila
menjadi panjang dan salah arah. Dan hal ini dapat mengakibatkan iritan pada
kornea. Orang yang emnderita depigmentasi abnormal, albinisme, infeksi kronik,
dan penyakit autoimun, bulu mata akan memutih atau poliosis ( Vaughan, 1999 ).
e)
Kelenjar
lakrimalis, observasi bagian kelenjar lakrimal
dengan cara meretraksi kelopak mata atas dan menyuruh klien untuk melihat ke
bawah. Kaji adanya edema pada kelenjar lakrimal, perawat dapat emnekan sakus
lakrimalis dekat pangkal hidung untuk memeriksa adanya obstruksi duktus
nasolakrimalis, jika di dalamnya terdapat peradangan akan keluar cairan pungtum
lakrimalis. Punktum lakrimalis dapat diobservasi dengan cara menarik kelopak
mata bawah secara halus melalui pipi. ( Potter, 2006 ).
f)
Konjungtiva
dan sclera, sclera dan konjungtiva bulbaris
diinspeksi secara bersama. Jika pada konjungtiva palpebra klien dicurigai
kelainan, palpebra atas and bawah harus dibalik. Palpebra bawah dibalik denagn
cara menarik batas atas kea rah pipi sambil klien dianjurkan untuk melihat ke
atas. ( Brunner, 2002 ). Amati keadaan konjungtiva, kantong konjungtiva bagian
bawah, catat bila ada pus atau warna tidak normal seperti anemis. Kaji warna
sclera, pada keadaan normal berwarna putih. Warna kekuning – kuningan dapat
mengindikasikan jaundis/ikterik atau masalah sistemik.
g)
Kornea,
observasi
dengan cara memberikan sinar secara serong dari beberapa sudut. Korne
seharusnya transparan, halus, jernih dan bersinar. Observasi adanya kekeruhan
yang mungkin adalah infiltrate atau sikatrik akibat trauma atau cedera.
Cikatrik kornea dapat berupa nebula ( bercak seperti awan yang hanya dapat
dilihat di kamar gelap dengan cahaya buatan ). Macula ( bercak putih yang dapat
dilihat di kamar terang ) dan leukoma ( bercak putih seperti porselen yang
dapat dilihat dari jarak jauh ). Jika klien sadar juga dapat dilakukan reflek
berkedip.
h)
Pupil,
amati
warna iris ukuran dan bentuk pupil yang bulat dan teratur. Pupil yang tidak
bulat dan teratur akibat perlengketan iris dengan lensa/kornea (sinekkia).
Lanjutkan pengkajian terhadap reflek cahaya. Pupil yang normal akan
berkontriksi secara reguler dan konsentris,efek tidak langsung,pupil mengecil
pada penyinaran mata disebelahnya. Reaksi yang lambat atau tidak adanya reaksi
dapat terjadi pada kasus peningkatan tekanan intrakranial (bentuk normal:
isokor, pupil yang mengecil (<2mm) disebut miosis, amat kecil disebut : pinpoint,
sedangkan yang melebar
(>5mm)disebut midriasis). Nyatakan besarnya pupil
dalam mm ( normalnya 2-5mm). Pemeriksaan pupil normal biasanya didokumentasikan
dan disingkat PERRLA : Pupil Equal
Round and Reaktif to Light and Accomodation (pupil seimbang, bulat,
dan bereaksi terhadap cahaya dan akomodasi).
3.
Pengkajian
mata diagnostic
a)
Pemeriksaan
fundus, dengan alat yang disebut oftalmoskop yang mempunyai
tujuan untuk memeriksa bagian mata sebelah dalam yang dinamakan fundus, yang
meliputi retina, evaluasi diskus optikus, pembuluh darah retina, karakteristik
retina, area macula, dan humor vitreus diskus. Tujuannya adalah untuk melihat
susunan retina, melihat warna retina apkah kemungkinan adanya perdarahan,
mengamati pembuluh darah besar, mengamati warna macula ( yang normalnya lebih
terang dari retina ), warna, batas dan pigmentasi diskus optikus ( normalnya
berbebtuk melingkar, warna merah muda agak pink, batas terang dan tetap dengan
jumlah pigmen yg bervariasi ).
b)
Pemeriksaan
ketajaman penglihatan ( visus )
·
Snellen
chart, adalah salah satu dari beberaap lat srderhana yang
digunakan perawat untuk mencatat penglihatan jauh. Tulisan E atau C adalah yang
sering digunakan pada kartu denagn huruf tunggal. Ketajaman penglihatan
diekspresikan dalam rasio yang membandingkan dengan bagaimana seseorang dengan
penglihatan normal melihat dari jarak 20 kaki dengan yang dilihat klien dari
jarak 20 kaki. Ketajaman penglihatan 20/50 berarti klien dapat melihat 20 kaki
jauhnya, sedangkan orang normal mampu melihat 50 kaki jauhnya. Nilai 20/200
adalah batas kebutaan legal. Klien seperti ini hanya dapat membaca dengan
akurat huruf benar di baris paling atas kartu Snellen ( Vaughan, 1999 ).
·
Uji
penglihatan dekat, dilakukan pada klien yang mengemukakan
kesulitan membaca dan dan berusia kurang dari 40 tahun. Perawat dapt memakai
Koran dengan berbagai ukuran huruf atau kartu Jaerger untuk menguji
penglihatan. Kartu ini dipegang klien dengan jarak 35 cm dari mata. Klien
diinstruksikan untuk membaca huruf – huruf dalam kartu. Perawat mencatat nilai
jaeger yaitu baris terbawah tempat klien dapat mengindentifikasi lebih dari
setiap karakter. Tajam penglihatan diuji pada tiap mata ( monocular 0, dan
kemudian pada kedua mata secara bersama – sama ( binocular ).
·
Uji
hitung jari, dilakukan apabila pasien tidak dapat
membaca huruf terbesar. Perawat dapat menentukan ketajaman dari penglihatan pasien
dengan cara meletakan jari di depan pasien dan meminta pasien menghitung jari.
Jika pasien dapat menghitung atau melihat jari pemeriksa dari jarak 6 meter,
maka visus adalah 6/60 atau jarak 5 meter dengan visus 5/60.
·
Uji
gerak tangan, dilakukan pada pasien yang tidak dapat
menghitung jari. Dapat dilakukan dengan cara menutup salah satu mata klien dan
sinar lampu diarahkan pada tangan perawat. Perawat menunjukan tiga kemungkinan
perintah, perintah tersebut adalah tegak berhenti, kiri ke kanan, dan atas ke
bawah. Perawat menggerakan tangan dengan perlahan dan tanyakan pada klien “ ke
arah mana tanagn saya sekarang”. Jika pasien dapat menjawab 3 dari 5 perintah
ketajaman visus adalah 1/300 atau jark terjauh dimana pasien dapat mengidentifikasi
mayoritas perintah gerakan.
·
Uji
persepsi cahaya ( light perception ), dilakukan pada psien
yang tidak dapat menditeksi gerak tangan. Dilakuakn pada lingkungan yang gelap,
salah satu mata pasien ditutup , arahkan sinar senter pada mata yang tidak
ditutup selama 1 – 2 detik. Pasien diintruksikan mengatakan hidup pada saat
sinar diterima dan mati pada saat padam. Jika pasien menjawab benar 3 dari 5
perintah maka visus adalah LP, dan yang tidak dapt menditeksi disebut Non Light
Perception/ NLP.
c)
Pengukuran
tekanan okuler
Tonometri
adalah cara pengukuran tekanan intra okuler dengan memakai alat – alat
terkalibrasi yang melekukan atau meratakan apeks kornea. Tonometer adalah alat
yang digunakan untuk memeriksa tekanan intraokuler ( TIO ). TIO normal adalah
10-21/24 mm Hg. Tonometri harus dilakukan pada klien berusia 40 tahun. Ada dua
jenis tonometri yang digunakan untuk mengukur TIO yakni tonometer Schiotz dan
tonometer Applanasi ( Vaughan,1999 ).
d)
Tonometri
Schiozt, mengukur besarnya indentansi kornea yang dihasilkan
oleh beban atau gaya yang telah disiapkan. Makin lunak mata, makin besar
lekukan yang diakibatkan pada kornea.
e)
Tonometri
Applanasi, adalah satu dari metode yang paling
popular dan akurat untuk pengukuran TIO. Kuantitas kekuatan yang diperlukan
dapat ditentukan. Dapat mengubah dan mengukur besarnya beban yang diperlukan
untuk meratakan apeks kornea dengan beban standar. Makin tinggi TIO, makin
besar beban yang dibutuhkan.
· Pemeriksaan lapang pandang, menurut
beberapa ahli merupakan suatu pemeriksaan penglihatan perifer. Pemeriksaan
medan penglihatan dapat menghasilkan informasi yang mengungkapkan lesi di
seluruh susunan optikus, mulai dari nervus optikus, khiasma, traktus optikus,
traktus genikulo kalkarina pada tingkat lobus temporal, parietal dan oksipital.
Tes konfrontasi, memakai jari
sebagai objek yang harus dilihat di dalam batas medan penglihatan. Perimeter, alat diagnostic yang
berbentuk lengkungan, tes dilakukan secara monocular. Objek yang dilihat oleh
pasien dapat berwarna dan berukuran kecil atau besar tergantung dari sifat
informasi yang hendak diungkapkan oleh tes perimeter ini.
· Uji penglihatan warna,
color vision yang normal sangat penting untuk pekerjaan tertentu. Kurang lebih
8% pria dan 0,5% wanita mengalami kelainan color vision congenital. Terdapat
beberapa metode yang dapat digunakan untuk menguji color vision ( Vaughan, 1999
). Alat yang paling sering digunakan adalah ISHIHARA Chart, yang berisi angka
yang tersusun dari titik – titik berwarna, berada dalam lingkaran yang juga
tersusun dari titik – titik warna. Uji ini sensitive untuk mendiagnosis buta
warna merah atau hijau, tetapi tidak efektif untuk menditeksi kelainan warna
biru.
· Uji otot ekstraokuler,
meliputi tiga komponen yaitu corneal light reflex, the six cardinal position of
gaze and cover uncover test. Ketiganya untuk observasi perawat terhadap
paralisme mata dan kehalusan pergerakan mata. ( Smeltzer, 2002 ).
f)
Corneal
light reflex, menentukan paralelisme atau kelurusan
kedua mata. Kelemahan otot ekstraokuler dapat menyebabkan deviasi okuler.
g)
The
six cardinal position of gaze, menggerakan bola mata
ke enam arah utama, yaitu lateral, kanan atas ( temporal ), kanan bawah, kiri
klien, kiri atas, kiri bawah.
· Diplopia, adalah
pandangan ganda, selama transisi dari salah satu posisi cardinal lirikan,
pemeriksa dapat mengetahui adanya salah satu atu lebih otot ekstraokuler yang
gagal berfungsi dengan benar.
·
Nistagmus,
suatu
gerakan involunter pada mata secara mendadak ireguler seperti gerakan lirikanke
posisi lateral.
B.
PENGKAJIAN
PADA SISTEM SENSORI PERSEPSI TELINGA
Organ
pendengaran terdiri dari telinga eksternal, telinga tengah dan telinga dalam.
Gelombang suara ditransmisikan melalui liang telinga luar yang menyebabkan
membrane timpani bergetar dan mengonduksi gelombang suara melalui tulang –
tulang osikel telinga tengah ke organ sensori telinga dalam. Kanalis
semisirkularis, vestibula, dan koklea dalam telinga tengah adalah struktur
sensori pendengaran dan keseimbangan.
1.
Pengkajian
riwayat kesehatan
Adapun pengkajian
riwayat kesehatan yang perlu dikaji pada telinga adalah :
·
Apakah klien mengalami nyeri telinga,
gatal, keluar cairan, tinnitus ( telinga berdenging ), vertigo, atau perubahan
pendengaran dan perhatikan timbulnya lama serangan.
·
Perhatikan timbulnya factor pemberat dan
efek pada aktivitas sehari – hari.
·
Kaji resiko masalah pendengaran yang
bervariasi untuk setiap tingkatan usia, meliputi hipoksia saat kelahiran,
meningitis, berat lahir kurang dari 1500g, riwayat keluarga kehilangan
pendengaran, kelainan congenital dari tengkorak atau wajah, infeksi non
bacterial ( rubella & herpes ) dan terpajan terus – menerus pada tingkat
kebisisngan tingkat tinggi.
·
Kaji apakah klien memakai alat bantu
pendengaran.
·
Tanyakan apakah klien pernah mengalami
pembedahan atau trauma telinga.
·
Tentukan keterpajaan klien terhadap
bunyi – bunyi keras saat bekerja dan ketersediaan alat pelindung.
·
Perhatikan perilaku yang menunjukan
kehilangan pendengaran.
·
Tanyakan apakah klien minum obat –
obatan ototoksik lainnya seperti aminoglikosida, furosemid, streptomicin atau
aspirin dosis tinggi.
·
Tanyakan bagaimana cara klien
membersihkan telinga.
2.
Pengkajian
psikososial
Gangguan
pendengaran dapat menyebabkan perubahan kepribadian dan sikap, kemampuan
berkomunikasai, kepekaan terhadap lingkungan bahkan kemampuan untuk melindungi
diri sendiri. Tidak jarang individu dengan gangguan pendengaran menolak mencari
pertolongan medis. Oleh karena rasa takut bahwa kehilangan pendengaran
merupakan tanda usia lanjut, banyak orang yang menolak menggunakan alat bantu
dengar karena merasa kurang percaya diri. Kelakuan dan sifat asal ini harus
diperhitungkan ketika melakukan penyuluhan pasien yang memerlukan bantuan
pendengaran. Perawat harus ingat bahwa keputusan memakai alt batu dengar adalah
sangat pribadi dan sangat dipengaruhi oleh sikap dan prilaku orang tersebut.
3.
Pendekatan
gerontologik
Bersamaan
proses penuaan dapat terjadi perubahan dalam telinga yang kemudian dapat
mengarah ke deficit pendengaran. Tanda awal kehilangan pendengaran bias
meliputi tinnitus, peningkatan ketidakmampuan mendengarkan pada pertemuan
kelompok, dan perlu meneraskan volume televise. Smeltzer ( 2002 ) menyatakan
bahwa 25 % orang berusia antara 65 – 74 tahun dan 50% orang berusia di atas 75
tahun mengalami kesulitan pendengaran. Penyebab tidak diketahui dan ada
hubungan dengan diet, metabolisme, arteriosklerosis, stress dan keturunan tidak
konsisten. Factor lainnya adalah pemajanan sepanjang hidup terhadap bunyi
keras, pemakaian obat – obatan, dan factor psikogenik dan proses penyakit
lainnya seperti diabetes mellitus.
4.
Pemeriksaan
fisik telinga
Perawat
meninspeksi dan memalpasi struktur telinga luar, inspeksi telinga tengah dengan
otoskop dan menguji telinga dalam dengan mengukur ketajaman pendengaran.
·
Pemeriksaan harus dimulai dengan
inspeksi dan palpasi aurikula dan jaringan sekitarnya. Liang telinga juga harus
diperiksa, mula – mula tanda speculum sebelum memeriksa membrane timpani. Liang
telinga tidak berjalan lurus untuk meluruskannya pada pemeriksaan, pegang
aurikula dan tarik sedikit ke belakang dan keatas pada orang dewasa, dan ke
arah bawah pada bayi.
·
Speculum
telinga yang dipegang dengan tangan digunakan bersama
dengan suatu kaca kepala dan sumber cahaya. Berdinding tipis dan berbentuk
corong, permukaannya besifat tidak memantulkan serta tersedia dalam berbagai
ukuran. Karena lubang telinga kecil maka speculum perlu digerakan ke dalam
liang telinga untuk dapat melihat seluruh membrane timpani. Otoskop bertenaga baterai dapat
memperbesar pandangan terhadap membrane timpani. Otoskopi pneumatic dengan mudah menditeksi adanya perforasi
membrane timpani atau cairan dalam telinga tengah.
· Uji Webber, memanfaatkan
konduksi tulang untuk menguji adanya lateralisasi suara. Sebuah garpu tala
dipegang erat pada gagangnya dan pukulkan pada lutut atau pergelangan tangan
pemeriksa, letakan pada dahi atau gigi pasien. Tanyakan apakah terdengar suara
di tengah kepala, di telinga kanan, atau telinga kiri. Individu dengan
pendengaran normal akan mendengar suara seimbang pada kedua telinga atau
terpusat pada tengah kepala. Bila ada kehilangan pendengarn konduktif (
otosklerosis, otitis media ), suara akan jelas terdengar pada sisi yang sakit.
Bila terjadi kehilangan sensorineural, suara akan mengalami lateralisasi ke
telinga yang pendengarannya lebih baik. Uji Webber berfungsi untuk kasus
kehilangan pendengaran unilateral ( Smeltzer, 2002 ).
· Uji Rinne, gagang
garputala yang bergetar diletakan di belakang aurikula pada tulang mastoid
samapi pasien tidak mampu lagi mendengar suara. Kemudian pindahkan ke dekat
telinga sisi yang sama. Telinga normal masih akan mendengar suara melalui
hantaran udara yang menunjukan konduksi udara belangsung lebih lama dari
konduksi tulang. Pada kehilangan pendengaran konduktif, konduksi tulang akan
melebihi konduksi udara. Kehilangan pendengaran sensorineural memungkinkan
suara dihantarkan melalui udara lebih baik dari tulang, meskipun keduanya merupakan
konduktor yang buruk dan segala suara diterima seperti sanagt jauh dan lemah.
· Uji Schwabach, membandingkan
hantaran tulang pasien dengan pemeriksa.
pasien diminta melaporkan saat penala bergetar yang ditempelkan pada
mastoidnya tidak lagi dapat didengar. Pada saat itu pemeriksa memindahkan
penala ke mastoidnya sendiri dan menghitung berapa lama ia masih dapat
menangkap gelombang bunyi. Uji ini dikatakan normal bila hanatran tulang pasien
dan pemeriksa hampir sama. Uji ini dikatakan memanjang atau meningkat bila
hantaran tulang pasien lebih lama dibandingkan pemeriksa, misalnya pada kasus
kehilangan pendengarn konduktif. Dan dikatakan memendek jika pemeriksa masih
bias mendengar penala setelah pasien tidak lagi mendengar.
5.
Pengkajian
diagnostic
Pengkajian
diagnostic yang sering dilakukan adalah audiometric dan timfanometri. Terutama
dilakukan pada pasien yang mempunyai riwayat penurunan fungsi pendengaran.
· Audiometric , ada
dua macam yaitu :
-
Audiometric
nada murni, dimana stimulus suara terdiri dari nada murni atau
music ( semakin keras nada sebelum pasien bisa mendengar berarti semakin besar
kehilangan pendengaran ).
-
Audiometric
wicara, dimana kata yang diucapakan digunakan untuk
menentukan kemampuan mendengar dan membedakan suara
Audiogram dapat membedakan
kehilangan pendengarn konduktif maupun sensorineural. Pemeriksa memakai
earphone dan sinyal mengenai nada yang didengarkan. Agar hasilnya lebih akurat
evaluasi audiometric dilakukan pada ruang kedap suara. Respon yang dihasilkan
dicatat dalam bentuk grafik yang dinamakan audiogram.
·
Timpanografi
atau audiometric impedans, mengukur reflek otot telinga tengah
terhadap stimulus suara, selain kelenturan membrane timpani, dengan mengubah
tekanan udara dalam kanalis telinga yang tertutup. Kelenturan akan berkurang
pada penyakit telinga tengah
DAFTAR
PUSTAKA
BOIES
. 1997. Buku Ajar Penyakit THT.
Jakarta : EGC
DANIEL
G. Vaughan . 2000. Oftalmologi Umum. Jakarta
: W idya Medika
GANONG, W.F. 1999. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran . Jakarta : EGC
MUTTQIN, ARIF. 2010. Pengkajian Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika
Tidak ada komentar:
Posting Komentar